Oleh : Irwandi )**
Pemerintah dan masyarakat sangat berharap ‘pendidikan’ (baca:guru) itu
bersamudrakan ilmu pengetahuan. Bisa menjadi pusat cahaya yang menerangi
kehidupan manusia, mengikis kebodohan di sekitar kehidupannya. Berperan
aktif sebagai penghapus kejahiliyaan, itu menjadi misi sejak manusia
dikukuhkan sebagai khalifah di dunia fana ini.
Ia (guru) juga yang mencerdaskan akal/afektif, kegesitan fisik/motorik,
dan karakter/akhlak generasi demi generasi. Dan yang tak kalah penting
adalah pembawa risalah ilmu pengetahuan selain dari para alim-ulama,
pewaris nabi yaitu mewarisi teladan yang dibawa atau dicontohkan oleh
nabi sebagai utusan Allah yang terakhir, Muhammad SAW.
Kita semua setuju bahwa kesungguhan dan keihklasan ‘pendidikan’ dalam
mendidik selama ini telah menempatkan dunia pada posisi kemajuan yang
kita rasakan saat ini. Dalam aroma globalisasi ditopang perkembangan IT
yang terus menempatkan dunia pada peradaban yang sangat maju (modren.)
Semua itu tidak terlepas dari campur tangan atau peranan-mara guru yang
dominan di dunia pendidikan.
Secara spesifik, peranan esensi ‘pendidikan’ adalah roh dalam proses
pendidikan, baik itu pendidikan oleh keluarga, oleh masyarakat, formal
maupun nonformal. Dimulai dari orang tua sebagai guru, guru di sekolah,
guru mengaji, guru silat atau sosok pengabdian lain yang membuat kita
bisa dan memperoleh pengetahuan dari mereka, wajib kita sebut guru kita.
Walau mereka hanya sempat memberikan sepotong ayat atau secuil ilmu,
nasehat-nasehat yang baik, sepantasnya mereka kita sebut guru dan kita
muliakan atensi mereka.
Jepang adalah salah satu negara yang paling menghormati guru. Di kala
bom atom meluluhlantakan dua kota besar di Jepang. Kaisar Jepang pertama
kali menanyakan kondisi guru, apakah masih ada atau banyak yang masih
hidup?
Begitu juga di negara kita. Daerah-daerah yang bisa menghormati dan
memuliakan eksitensi keguruan, maka daerah itu akan kelihatan maju dari
daerah lain. Sumatra Barat dapat kita jadikan contoh. Warga masyarakat
disini sangat menghargai guru. Maka tidak heran, bila bertegur sapa di
mana saja masyarakat selalu menyapa ‘pendidikan’ dengan ‘guru’ walaupun
yang menyapa itu lebih tua dari sang ‘pendidikan.’
Kalau kita di daerah melayu ini pun juga terbiasa dari dahulu memuliakan
‘pendidikan.’ Tidak asing lagi ditelinga kita mendengar istilah
‘cekgu’. Orang yang dianggap berpendidikan, serba tahu, dan biasanya
dalam pengetahuan agamanya. Namun, saat ini panggilan itu seperti hilang
timbul dan hanya menjadi sebutan di atas kertas, tapi di lapangan
jarang masyarakat apalagi di Kota Batam yang masyarakatnya makin
heterogen menyebut atau menyapa guru dengan sebutan 'cekgu.'
Seyogyanya, karena penghargaan dan harapan besar masyarakat terhadap
peranan ‘pendidikan’ kita pun dituntut mereka menjadi Profesional. Bisa
membawa diri, berlaku wibawa sebagai pemegang dan penerus risalah serta
harus menyadari akan kemuliaan posisi strategisnya sebagai pembangun
bangsa.
Lebih dari itu, mampu bergaul baik dengan masyarakat, terus menunjukan
semangat belajar, meng-up grade dirinya, bersifat kekinian dan
terbarukan. Apalagi kalau mencintai dunia tulis- menulis, mencurahkan
ilmu dan pengalamannya. Sehingga bisa menjadi figure tiga dimensi yakni
mendidik siswa yang berkarakter tinggi, mendidik masyarakat dengan
panutan dan teladan, dan menjadi lokomotif kemajuan bangsa dengan
pengetahuan yang dimilikinya.
Karena itu, saya merasa bangga menjadi bagian dari salah seorang yang
disebut guru. Menjadi sosok guru di depan kelas merupakan suatu
kebanggaan dan panggilan jiwa yang sangat menantang. Selalu memberi
inspirasi tiada henti. Menjadikan tantangan karena berhadapan secara
live dengan berbagai macam karakter manusia, sifat/fiil/watak, dan
tingkah laku/habit siswa.
Dalam satu hari, saya misalnya, mulai pukul 07.30 WIB sampai pukul 15.00
WIB telah berinteraksi dengan siswa memberikan materi dalam 3 kelas
yang berbeda , masing-masing kelas terdiri dari 40 siswa maka ada 120
mimik wajah/watak dengan ratusan karakter yang mereka memiliki. Guru
berperanan penting menjuruskan, meluruskan setiap habit mereka agar
tumbuh ‘mengakar’ karakter indah buat masa depan mereka. Sebutlah
karakter itu berupa; Kejujuran, percaya diri, suka menolong, empati,
bekerja keras, tidak mendominasi teman, dan karakter lainnya.
Kalau dalam kehidupan beragama, karakter itulah yang disebut akhlak.
Menanamkan akhlak mulia ini yang lebih sulit daripada hanya sekedar
mengajar atau menstransfer ilmu.
Selanjutnya dalam paparan hubungan antar manusia secara horizontal,
‘pendidikan’ merupakan cermin atau ‘lilin’ penerang banyak orang. Kalau
siswa dikatakan berlaku salah, kadang oleh masyarakat disindirkan;
’Siapa gurunya?’ Tapi kalau ‘pendidikan’ yang berbuat salah, pasti
pribadi ‘pendidikan’ itu yang dihujat seutuhnya.
Begitulah masyarakat memandang sosok ‘pendidikan.’ Kita dituntut serba
sempurna, bila perlu menjadi manusia super, mungkinkah itu? Tentu saja
kita tidak bisa seperti superman.
Namun, kita hanya bisa menekankan dan menegaskan bahwa pendidikan itu
sepanjang hayat. Itulah yang bisa kita contohkan. Kita mengajar tapi
juga harus terus belajar, dan sekarang oleh grup PPKB di FB mesti suka
menulis pula.
'Pendidikan' dan kepemimpinan
Bila kita melihat muka berjerawat di cermin, tentu saja yang diobati
muka kita, bukan cerminnya. Hal yang sama juga berlaku bagi setiap
gangguan dalam hubungan ‘pendidikan’ dan kepemimpinan.
Bila pemimpin-pemimpin kita berbuat salah saat ini, yang disalahkan
‘pendidikan’nya terdahulu. ‘Pendidikan’ dahulu disalahkan menghasilkan
pemimpin yang berkarakter korup, pemimpin yang kurang empati dan tidak
memihak pada rakyat kecil.
Kita hanya bisa pasrah, karena yang disorot biasanya oleh media selalu
saja yang menarik untuk dikupas hasil dari ‘pendidikan.’ Selalu saja
kesalahan orang lain lebih di dominankan kendati kadang berhasil
membuahkan perubahan yang luar biasa, tapi kadang lepas dari sebutan.
Maka, sekarang timbul perdebatan hubungan kualitas kepemimpinan dengan
pendidikan yang pernah dilaluinya. Sebagian menganggap pemimpin yang
berkarakter sangat diwarnai oleh seberapa terang cahaya yang ada di
dalam diri sang pemimpin yang telah dihidupkan oleh hasil bakar ‘lilin’
pendidikan.
Lihatlah pemimpin dunia yang berkarakter; Soekarno, Mahatma Gandi,
Abraham Lincon adalah sederetan pemimpin yang ‘lilin’nya menyala secara
terang benderang. Pada akhirnya mereka menerangi umat melalui tabungan
perbuatan baiknya sudah menggunung. Mereka pun mendapat penghormatan
sebagai pemimpin sekaligus guru bangsa, walau mereka telah tiada.
Secara pribadi, saya memang masih jauh dari kualitas yang dimiliki tiga
pemimpin diatas, bahkan masih menyimpan banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki. Namun perjalanan saya sebagai Guru KKPI ( Keterampilan
Komputer & Pengelolaan Informasi ) bertutur bahwa; ada sejumlah
langkah yang layak untuk dicermati bagi saya pribadi dan kita semua
sebagai ‘pendidikan.’
Pertama; Saya tidak anti ego, bahkan saya berupaya menjadikan ego
sebagai pendorong atau katalis kemajuan diri saya sebagai ‘pendidikan’
yang makin berkualitas. Terus dewasa dan tumbuh. Tulisan inipun ada
karena sebagian didorong oleh rasa ego saya agar terus tumbuh. Agar saya
bisa berbuat lebih daripada hanya sekedar bercuap-cuap, hilang lepas di
makan angin, alangkah baiknya ilmu dan pengalaman ini saya tuliskan.
Saya juga banyak belajar dari melawan ego terhadap orang saya anggap
statusnya di bawah saya. Orang yang biasanya tidak kita anggap penting,
padahal mempunyai kesabaran dan hati yang luar biasa. Sebutlah; satpam
sekolah, dan tukang kebun sekolah. Saya dekati mereka, saya sapa,
selalu berkata manis dan mengangap mereka orang penting dalam kehidupan
saya.
Bagaimana saya harus meremehkan? kadang mereka memberi saya kearifan.
Sebagai ilustrasi, dengan gaji kecil mereka masih bisa bersyukur kepada
Tuhan. Dengan penampilan yang sederhana, masih memiliki percaya diri
berkomunikasi dengan orang lain. Dengan kerut muka hitam dan kotor masih
bisa tersenyum kepada orang lain. Di sisi lain, karena kehidupan kerap
bergerak naik turun seperti roda pedati, saya sering diingatkan secara
tidak langsung oleh mereka bahwa ego bisa dibawa positif atau kita bawa
ke arah negatif, seperti sombong, cuek, remeh dan sebagainya.
Kedua; Saya menyadari arti penting cara berkomunikasi yang baik. Sering
dikemukakan oleh para ahli bahwa seseorang disebut berhasil bila sampai
pada tataran ‘communication with heart’
Terus terang, ada banyak sekali yang bisa diperoleh dengan menguasai
seni mendengar dan berbicara yang baik. Coba bayangkan!... jikalau kita
tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan siswa kita. Pasti akan ada
dua kemungkinan; kalau tidak kita yang membenci atau mengatakan siswa
bodoh atau sebaliknya siswa yang mengatakan kita demikian, tidak bisa
membuat mereka mengerti dari apa yang kita sampaikan. Apa yang kita
sampaikan menjadi tidak bisa dicerna siswa kita dengan baik. Akhirnya,
pembelajaran menjadi terganggu dan tidak bermakna.
Yang tak kalah penting dalam berkomunikasi yang baik adalah mengadopsi
konsep ‘out total body language.’ Maksudnya, bila berbicara dengan orang
lain dalam posisi saling menghargai dan berterima. Dimana ada saat
menjadi pendengar yang baik, tidak menyela orang yang berbicara, atau
pandai menempatkan raut muka yang manis dan antusias. Tunjukkan empati
dan simpati kita, siapapun ia, walaupun itu siswa atau bawahan kita.
Ajukan pertanyaan yang bisa membuat orang semakin bangga akan dirinya
dan merasa dihargai.
Ketiga; Kita sebagai pendidik harus mempunyai ‘pegangan’ atau alat.
Pegangan itu berupa pengetahuan yang luas. Sedangkan alat itu terus kita
miliki untuk mendukung pekerjaan kita sebagai pendidik. Sebutlah;
gadget canggih atau smartphone untuk internet, untuk membuat catatan,
atau kita gunakan sebagai koran digital yang mobile. Sehingga kita bisa
membaca dimana dan kapan saja cukup dari alat itu. Atau contoh alat lain
misalnya laptop, kita manfaatkan sebagai sumber dan media pembelajaran
yang akan mempermudah pekerjaan kita. Bukan untuk membuat kita makin
malas, apalagi malas menulis.
Keempat; Pegang eratlah janji, berjanjilah hanya tentang hal yang bisa
dilakukan dan lakukan segala hal yang anda telah janjikan. Tunjukan kita
sebagai pemegang janji yang teguh. Bagi saya kepercayaan adalah amanah.
Dan kode etik ‘pendidikan’ adalah pedoman kepercayaan itu untuk menuju
sosok ‘pendidikan’ yang luar biasa.
Terakhir, mulai tahun ajaran baru di tahun 2012/2013 akan datang, mari
nyalakan ‘lilin’ dalam diri kita. Kita adalah figure dan role model
yang mesti tangguh dihadapan siswa dan masyarakat. Semoga sukses selalu!
Bagaimana menurut ‘pendidikan’?
** ) Irwandi, Guru KKPI SMKN2 Batam Propinsi KEPRI-Indonesia